Antareja Takon Bapa

{Lakon Ini dikenal juga dengan "Sumbadra Larung"}

 Antareja adalah putera Werkudara dengan Dewi Nagagini puteri Batara Antaboga. Kini usia Antareja sudah cukup dewasa. Ia ingin mengabdi pada sudarmanya,ia ingin mengabdi pada ayahnya. Antareja berpamitan pada kakek dan Ibunya. Untuk menemui ayahnya di Indraprasta (Amarta).

Kakeknya membekali Air Prawitasari atau air kehidupan serta Aji Kawastraman.Sementara itu di taman Maduganda Kesatrian Madukara Dewi Wara Sembadra kedatangan tamu yang tak diundang. Buriswara putera Prabu Salya dari Mandaraka, tiba tiba saja sudah masuk di taman. Dewi Wara Sembadra, kaget sekali, apalagi , Dewi Wara Srikandi yang menjaga keselamatan para Istri Arjuna tidak ditempat. Dewi Wara Sembadra terus saja dirayu  oleh Memang Burisrawa. sejak dahulu, sebelum Arjuna memperistri Dewi Wara Sembadra, Buriswara sudah mencintainya.

Sampai dengan hari ini pun masih mencintai. Buriswara makin lama makin kasar pada Dewi Wara Sembadra, Wara Sembadra tidak mau menanggapi. Wara Sembadra  tidak mau melayani kemauan Buriswara, Ia lebih baik mati daripada tidak bisa mempertahankan kesucian wanitanya. Burisrawa menjadi   brutal ,Buriswara  mengeluarkan pusaka untuk menakut nakuti Dewi Wara Sembadra. Namun Dewi Wara  Sembadra malah menu bruk keris itu, hingga tewas. Dewi Wara Sembadra terbunuh oleh Burisrawa.

Mengetahui Dewi Sembadra telah mati, Burisrawa  menjadi ketakutan, ia segera bersembunyi di balik tanaman bunga yang gelap, ketika ada seseorang yang mendatangi tempat itu. Dewi Wara Srikandi mengetahui  kematian Sembadra menjadi marah, ia mengejar pembunuhnya, karena gelap,ia tidak melihat dengan jelas, ada bayangan orang di dekat gerumbulan tanaman,Srikandi mengira mengira apakah ini  patih Sucitra, dijawab oleh orang itu, ya, betul saya patih Sucitra, Srikandi terus berkata.  Kok suaranya seperti Patih  Surata, dan mendengar suara itu, juga orang itu membetulkan, kalau ia Patih Surata. Yakinlah Dewi Srikandi  kalau ini orang luar yang baru saja membunuh Dewi Wara Sembadra.  Dewi Wara Srikandi mengejar, bayangan orang tadi, dan berteriak ada maling, tetapi malingnya telah melompat pagar taman dan melarikan diri. Dewi Wara Srikandi segera memberitahukan kejadian ini  kepada Arjuna dan keluarga semua.

Prabu Kresna meminta agar dapat mengetahui siapa pembunuhnya, maka  Dewi Wara Sembadra harus dilarung di sungai. Dewi Wara Sembadara dilarung di sungai Yamuna. Gatutkaca ditugaskan Prabu Kresna untuk mengawasi keberadaan Dew Wara Sembadra.

Sementara itu Antareja yang sedang melakukan perjalanan lewat jalan dalam tanah, telah muncul di tengah sungai Yamuna. Sesampai diatas permukaan air, ia melihat jasad seseorang yang dilarung di sungai itu. Antareja bermaksud akan menghidupkan kembali orang tersebut. Ia segera mendekati jasad Dewi Wara Sembadra, Gatutkaca melihat ada seseorang yang menghampiri jasad Dewi Wara Sembadra, maka Gatutkaca segera menyerangnya dan terjadilah perkelahian.

Batara Narada datang memberitahu kalau keduanya masih bersaudara.Keduanya putera Werkudara. Oleh Antareja. wajah Dewi Wara Sembadra diperciki dengan air Prawitasari, Dengan kehendak Dewa, maka Dewi Wara Sembadara siuman kembali. Para keluarga senang melihat Dewi Wara Sembadra bangun kembali. Setelah siuman Dewi Wara Sembadra menceriterakan apa sebenarnya yang telah terjadi, hingga ia tewas. Antareja merasa geram, ia ingin membalas kejahatan Buriswara.

Dengan bekal pusaka kakeknya, Aji Kawastrawam, Antasena berubah menjadi Dewi Wara Sembadra. Iapun pergi ke kediaman Buriswara di Kerajaan Bahlika.. Dewi Wara Sembadra palsu  ingin membersihkan rambut gimbal Burisrawa  yang penuh kutu. Buriswara senang sekali ketika Dewi Wara Sembadra memberi perhatian padanya.Buriswara akan memberi hadiah kalau Dewi Wara Sembadra dapat kutu tiga, Buriswara dapat sotho, kalau dapat sembilan Buriswara dapat  jotos, dari Dewi Wara Sembadra. Dewi Wara Sembadra palsu mendapat sembilan kutu, maka Dewi Wara Sembadra pun menjotos Buriswara, sehingga jatuh terlentang. Buriswara terkejut karena jotosannya seperti jotosan laki laki.

Setelah melirik kebelakang tahulah kalau yang ada dibelakangnya bukan Dewi Wara Sembadra tetapi seorang laki laki yang mirip Gatutkaca.Maka terjadilah perkelahian antara Buriswara dan Antasena. Buriswara melarikan diri ketakutan, dan Antarejapun kembali ke Indraprasta. Antareja Kemudian mence ritakankan segala sesuatunya pada ayahnya, Werkudara dan saudara saudara Para Pandawa. Antareja bahagia bisa bertemu dengan ayah dan para Keluarga Pandawa
Share:

Wisanggeni Rabi




 Raden Wisanggeni, putera Raden Arjuna dengan Dewi Dresanala jatuh cinta dengan Dewi Mustikawati, puteri Prabu Mustikadarwa. Maka menghadaplah Raden Wisanggeni  di Kerajaan Sonyapura untuk meminang Dewi Mustikawati. Pada saat yang sama, ternyata Bomanarakasura putera Prabu Kresna juga meminang Dewi Mustikawati untuk dijadikan istri.

Untuk menentukan siapa yang berhak memboyong Dewi Mustikawati, maka diadakan sayembara tanding antara keduanya. Pertarungan antara keduanya pun tidak dapat dihindarkan. Prabu Mustikadarwa cemas , Sang Prabu takut pertarungan ini bisa berakibat retaknya persaudaraan negeri Dwarawati dan negeri Amarta. Maka agar tidak jatuh korban, Dewi Mustikawati mengubah sayembaranya, barang siapa yang bisa memberikan cupumanik gambar jagad, ia akan bersedia menjadi istrinya.

Raden Setija atau Bomanarakusuma segera ke negeri Dwarawati untuk memohon bantuan ayahandanya, Prabu Kresna  agar dapat mendapatkan cupumanik gambar jagad. Sedangkan Raden Wisanggeni pergi ke kahyangan dengan diantar Raden Antasena, putra Raden Werkudara untuk menghadap Sang Hyang Wenang meminta petunjuk dimana cupumanik gambar jagad berada.
Sang Hyang Wenang pun memberikan cupumanik gambar jagad kepada Raden Wisanggeni. Setelah mohon undur diri kepada Sang Hyang Wenang, Raden Wisanggeni langsung kembali ke negeri Sonyapura untuk membersembahkan cupumanik gambar jagad kepada Dewi Mustikawati.

Raden Wisanggeni akhirnya dinyatakan menang dan berhak mengambil Dewi Mustikawati sebagai istrinya. Sedangkan Raden Sitija kecewa dengan kekalahannya. Oleh Prabu Kresna, Raden Sitija dinasehati bahwa Dewi Mustikawati memang bukan jodohnya, nasib, kelahiran dan kematian serta jodoh seseorang sudah ada rahasia dewa dan Dewa lah yang menentukan.
Share:
ANTAREJA LAHIR





Prabu Nagabaginda adalah raja Negara Bantalatelu dengan rupa badan manusia dengan kepala naga, dan mampu merubah dirinya baik menjadi manusia betulan hingga berupa naga raksasa.

Nagabaginda kesal lantaran Batara Guru memberikan anugerah Sanghyang kepada Anantaboga, bukan kepada dirinya padahal ia yakin lebih ganteng diantara para bangsa ular dan naga. Yang kedua Dewi Suparti yang ditaksirnya di pinang Sanghyang Anantaboga.

Ketidak puasan ini akhirnya mengutus Patih Wisasarpa untuk menanyakan kepada Dewa. Singkat cerita rombongan utusan ini telah berhadapan dengan Batara Narada. Penjelasan Batara Narada perihal anugerah Dewa tersebut tidak diterima oleh Patih Wisasarpa, dan terjadilah peperangan. Akan tetapi Batara Guru telah menyiapkan Batara Brahma dengan mantra giri pawakanya, Batara Indra dengan kalajaksanya, Batara bayu dengan angin sakti. Perlawanan Patih Wisasarpa dengan ajian wisa sardulanya kalah dengan Batara Bayu yang menggunakan ajian Bayu Rotra.

Nagabaginda yang mengetahui kekalahan patihnya, marah besar dan berangkat untuk mengobrak abrik Kedewatan. Batara Guru yang faham dengan kemarahan Nagabaginda dengan mantra saktinya mengangkat tinggi Kedewatan hingga tidak dapat dijangkau oleh Nagabaginda. Sementara itu di Suralaya, Batara Guru mengatakan bahwa tidak ada yang dapat mengalahkan Nagabaginda selain cucu Anantaboga. Sedangkan Dewi Nagagini sendiri masih dalam kondisi hamil. Rombongan Batara Narada, Batara Brahma, Batara Bayu dan Batara Indra turun dari kahyangan untuk menuju ke istana Saptaprtala tempat bersemayamnya Sanghyang Anantaboga rupa-rupanya diketahui oleh Nagabaginda, maka ia pun berniat menyusulnya dengan murka.

Atas bantuan Sanghyang Baruna, maka perjalanan keempat duta Kedewatan itu segera sampai ke Saptapratala. Sementara itu Nagabaginda tak kuasa melewati pagar betis pasukan samodra yang dipimpin oleh Julungwangi. Gagal mengejar melewati samodra, rupanya Nagabaginda bertemu dengan Arjuna yang disertai para punakawan sedang dalam perjalanan menjenguk Dewi Nagagini diutus oleh Dewi Kunti karena Bima sedang ada tugas lain. Hasilnya gimana?

Sementara itu di Saptapratala sedang bersuka ria karena Dewi Nagagini melahirkan seorang bayi dari perkawinannya dengan Bima yang diberi nama Bimasunu. Oleh para duta dewa bayi ini dimandikan di air suci dan seketika badannya menjadi besar. Untuk lebih menjadikan cucunya sakti, Sanghyang Anantaboga melumuri seluruh badan cucunya dengan air liurnya yang kelak membuat Bimasunu kebal terhadap senjata.

Berhadapan dengan Bimasunu, Nagabaginda pun akhirnya takluk. Sebelum menitis kepada Bimasunu, Nagabaginda menyerahkan negara Jangkarbumi, dan kelak Bimasunu bergelar Prabu Antareja.
Share:

GATOTKACA LAHIR

GATOTKACA LAHIR




 Setelah sekian lama ditunggu-tunggu akhirnya Dewi Arimbi mengandung anak dari Bima. Seluruh rakyat Pringgandani sangat bersukacita, dikarenakan anak ini akan menjadi generasi penerus sebagai Raja di Pringgandani bila Dewi Arimbi sudah tiada.

Saat itu seluruh putra Pandawa disertai Sri Batara Kresna tidak ketinggalan seluruh punakawan Semar, Astrajingga, Dawal dan Gareng berkumpul di Istana Pringgandani, merka sedang berkumpul menunggu saat kelahiran sang putra Bima. Tidak lama berselang terdengar tangisan bayi menggelegar menggentarkan seantero Pringgandani, seluruhnya yang berada di bangsal menarik nafas panjang. Sesaat kemudian ada emban yang menghaturkan berita bahwasanya sang putra mahkota laki-laki telah lahir dalam keadaan sehat begitu juga dengan kondisi sang ibu. Mendengar hal tersebut bertambahlah kebahagian semuanya, satu persatu dari mereka memberikan selamat kepada Raden Aria Werkudara alias Bima atas kelahiran putrannya.

Beberapa waktu kemudian mereka bisa masuk menjenguk kedalam kamar, disana terlihat Dewi Arimbi sedang berbaring diatas ranjang berhiaskan emas permata beralaskan sutera berwarna biru terlihat senang dengan senyum mengembang dibibirnya menyambut kedatangan Bima diiringi oleh seluruh kadang wargi (saudara). Tidak jauh dari tempatnya berbaring terlihat sebuah tempat tidur yang lebih kecil, diatasnya tergolek seorang bayi laki-laki sangat gagah dan tampat layaknya ksatria trah dewa, hanya saja ari-ari dari bayi tersebut masih menempel belum diputus. Ketika hal tersebut ditanyakan emban menjawab bahwa seluruh upaya untuk memotong tali ari-ari tersebut selalu gagal. Tidak ada satu senjatapun yang berhasil memotongnya.

Mendengar hal tersebut Bima sangat gusar dan meminta tolong kepada saudara-saudaranya untuk memotong tali ari-ari anaknya yang diberinama Jabang Tutuka. Bima mencoba memotong dengan kuku pancana gagal, diikuti oleh Arjuna mencoba menggunakan seluruh senjatanya diawali dengan keris Pancaroba, keris Kalandah, panah Sarotama bahkan panah Pasopati semuanya gagal. Sri Batara Kresna yang saat itu hadir mencoba dengan senjata saktinya Cakra Udaksana, hanya menghasilkan percikan-percikan api ketika dicoba memotong tali ari-ari itu. Semuanya terbengong-bengong merasa takjub dan heran disertai rasa putus asa, Dewi Arimbi hanya bisa menangis melihat hal tersebut dirundung rasa khawatir jika anaknya harus membawa tali ari-ari hingga dewasa. Ditengah suasana tersebut tanpa diketahui sebelumnya Begawan Abiyasa yang tak lain kakek dari para Pandawa atau buyut dari Jabang Tutuka telah hadir ditempat tersebut, semua yang hadir memberikan sembah sungkem kepadanya. Begawan yang sakti mandraguna ini mengatakan bahwa tali ari-ari itu hanya akan bisa dipotong oleh senjata kadewatan yang berasal dari Batar Guru. Untuk itu Sang Begawan meminta Arjuna untuk pergi ke Kahyangan mencari senjata tersebut. Setelah mendapat perintah dari kakeknya dan meminta ijin kepada saudara-saudaranya Arjuna disertai oelh para punakawan segera menuju Kahyangan untuk mencari senjata yang dimaksud oleh Begawan Abiyasa, sedangkan Sang Begawan sendiri bergegas pulang kembali ke Padepokan setelah memberikan do’a serta merapal beberapa mantra untuk buyut / cicitnya tersebut.

Nun jauh di Kahyangan sana keadaan sedang gonjang-ganjing dikarenakan serangan dari Naga Percona yang ingin memperistri salah satu bidadari yang bernama Dewi Supraba. Dikarenakan Naga Percona bukan sembarang makhluk, dia adalah raja yang mempunyai kesaktian mumpuni dan bisa dikatakan sama bahkan sedikit diatas diatas para dewa, jelas sangat merepotkan barisan dewa-dewa yang dipimpin oleh Batara Indra dalam menghadapi nya. Serangan petir Batara Indra tidak ubahnya lemparan daun-daun kering dari anak-anak, kobaran api Batara Brahma hanya menjadi menjadi mainan saja. Batara Bayu yang mendoronganya dengan badai besar tidak membutnya mundur walaupun seujung kuku, bahkan badannya tidak goyang sedikitpun. Cakra Udaksana dari Batar Wisnu sama sekali tidak mencenderainya, singkatnya para dewa dipukul mundur dengan kondisi babak-belur.

Batara Guru merapal mantra dan melihat Kaca Trenggana, diperoleh keterangan bahwa yang bisa mengalahkan Naga Percona hanyalah Jabang Tutuka anak Bima yang baru lahir. Selanjutnya Batara Guru memerintahkan Batara Narada untuk memberikan senjata darinya yang bernama panah Konta Wijayadanu kepada Arjuna untuk memotong ari-ari Jabang Tutuka dengan imbalan bayi tersebut harus menjadi panglima perang mengahadapi Naga Percona. Disaat yang bersamaan Aradeya atau Karna sedang bertapa di tepi Sungai Gangga mencari senjata sakti untuk dirinya, pada saat Batara Narada mendekati tempat tersebut hatinya senang karena Aradeya ini disangkanya Arjuna, karena rupanya benar-benar mirip dan Batara Surya yang merupakan ayah dari Aradeya sengaja mengeluarkan sinar berkilauan disekitar Aradeya sehingga Batara Narada tidak terlalu jelas melihatnya, sehingga tidak sadar bahwa orang yang diserahi senjata tersebut bukanlah Arjuna.

Setelah mendapatkan senjata sakti kadewatan Aradeya sangat gembira dan langsung berlari tanpa mengucapkan terima kasih kepada Batara Narada, hal itu membuat Batara Narada tersadar bahwa dia salah orang, tidak lama kemudian Arjuan disertai oleh para Punakawan datang ketempat tersebut, dengan sedih Batara Narada bercerita bahwa dirinya telah salah orang menyerahkan senjata kadewatan yang seharusnya diserahkan kepada Jabang Tutuka lewat tangan Arjuna, malah diserahkan kepada orang yang tidak dikenal dan mempunyai rupa mirip dengan Arjuna. Mendengar hal tersebut Semar sangat menyalahkan Batara Narada karena gegabah menyerahkan senjata sakti kepada orang asing, serta segera meminta Arjuna mengejar orang tersebut.

Arjuna berlari dan berhasil menyusul Aradeya, awalnya senjata tersebut diminta baik-baik dan dikatakan akan digunakan olehnya untuk memotong tali ari-ari keponakannya. Aradeya tidak menggubrisnya akhirnya terjadi perang-tanding memperebutkan senjata tersebut, sampai suatu ketika Arjuna berhasil memegang sarung senjata tersebut sedangkan Aradeya memegang gagang panah Konta Waijayadanu. Mereka saling tarik dan akhirnya terjerembab dikarenakan senjata Konta lepas dari warangka / sarungnya. Kemudian Aradeya berlari kembali dan kali ini Arjuna kehilangan jejak.

Dengan sedih hati Arjuna menunjukkan warangka senjata Konta kepada Semar, kemudian atas saran Semar mereka kembali ke Pringgandani sedangkan Batara Narad disuruh pulang ke Kahyangan dan dikatakan bahwa Jabang Tutuka akan segera dibawa ke Kahyangan. Sesampainya di Keraton Pringgandani warangka tersebut digunakan untuk memotong tali ari-ari Jabang Tutuka, ajaib sekali tali ari-ari putus sedangkan warangka senajata kadewatan itu masuk kedalam udel Jabang Tutuka. Hal ini menurut Semar sudah menjadi suratan bahwa nanti diakhir cerita peperangan besar / Bharata Yuda senjata itu akan masuk kembali kewarangkanya, dengan kata lain Jabang Tutuka akan mati jika menghadapi senjata Konta Wijayadanu.

Setelah tali ari-ari berhasil dipotong Arjuna hendak membawa Jabang Tutuka ke Kahyangan untuk memenuhi janji kepada Batara Narada, bahwa Jabang Tutuka akan menjadi panglima perang dan menghadapi Naga Percona. Awalnya Bima melarang karena anaknya masih bayi dan dirinya sanggup untuk menggantikan melawan Naga Percona. Setelah Semar berkata bahwa Jabang Tutukalah yang harus berangkat karena dia yang dipercaya oleh dewa dan Jabang Tutuka pula yang telah menggunakan senjata kadewatan bukan yang lain. Disamping itu Semar menjamin jika terjadi suatu hal yang menyebabkan Jabang Tutuka celaka, Semar berani menaruhkan nyawanya kepada Bima. Mendengar hal tersebut dari Semar, Bima yang mempunyai pandangan linuwih dan menyadari siapa sesungguhnya Semar ini, akhirnya mengijinkan putra berperang melawan Naga Percona.

Arjuna disertai par Punakawan segera membawa Jabang Tutuka ke Kahyangan, setelah mendekati gerbanga Selapa Tangkep tepatnya di Tegal Ramat Kapanasan Arjuna meletakkan Jabang Tutuka ditengah jalan menuju gerbang. Selanjutnya Arjuna memperhatikan dari jauh bersama dengan para dewa, tak lama berselang Naga Percona datang dan melihat ada bayi ditengah jalan. Dia meledek Batara Guru yang dikatakannya sudah gila karena menyuruhnya bertarung dengan bayi yang hanya bisa menangis. Kemudia dia mengangkat Jabang Tutuka dan mendekatkan wajahnya ke wajah bayi tersebut, tidak disangkan tangan Jabang Tutuka mengayun dan berhasil meluaki satu matanya sehingga berdarah. Kontan Naga Percona marah dan membanting Jabang Tutuk kea rah pintu gerba hingga mati. Melihat hal tersebut para dewa tak terkecuali Batar Guru, Batara Narada dan Arjuna kaget dan was-was jika Bima sampai tahu anaknya mati oleh Naga Percona pasti akan mengamu ke Kahyangan. Hanya saja Semar dengan cepat berbisik ke Batara Guru untuk segera menggodok Jabang Tutuka di Kawah Candradimuka, Batara Guru segera memerintahkan Batara Yamadipati untuk segera membawa tubuh Jabang Tutuka ke Kawah Candradimuka dan menggodoknya. Selanjutnya para dewa disuruhnya melemparkan / mencampurkan senajata yang dimilikinya untuk membentuk tuduh Jabang Tutuka lebih kuat, lama-kelamaan terbentuklah tubuh satria gagah dari dalam godogan tersebut. Kemudian para dewa membirkannya pakaian dan perhiasan untuk Jabang Tutuka yang baru tersebut, selanjutnya diakarenakan dia mati belum waktunya berhasil dihidupkan kembali oleh Batar Guru.

Selain mendapat anugerah berupa pakaian, perhiasan dan senjata yang sudah membentuk tubuhnya Jabang Tutuka juga memperoleh beberanama dari para dewa diantaranya : Krincing Wesi, Kaca Negara, Purabaya, Kancing Jaya, Arimbi Suta, Bima Putra dan Gatotkaca. Nama terakhir inilah yang kemudian digunakan dalam dunia pewayangan. Dengan tampilan yang sangat beda dari sebelumnya Jabang Tutuka yang menggunakan nama baru Gatotkaca bertempur kembali dengan Naga Percona, dan akhirnya behasil merobek mulut dan tubuh Naga Percona menjadi dua bagian. Itulah akhir dari hidupnya Naga Percona yang membawa kedamaian di Kahyangan, sekaligus menjadi awal kepahlawanan Gatotkaca sang putra Bima.
Share:

PARIKESIT






Peristiwa sebelum kelahiran 

Saat Maharaja Parikesit masih berada dalam kandungan, ayahnya yang bernama Abimanyu, turut serta bersama Arjuna dalam sebuah pertempuran besar di daratan Kurukshetra. Dalam pertempuran tersebut, Abimanyu gugur dalam serangan musuh yang dilakukan secara curang. Abimanyu meninggalkan ibu Parikesit yang bernama Utara karena gugur dalam perang.

Pada pertempuran di akhir hari kedelapan belas, Aswatama bertarung dengan Arjuna. Aswatama dan Arjuna sama-sama sakti dan sama-sama mengeluarkan senjata Brahmāstra. Karena dicegah oleh Resi Byasa, Aswatama dianjurkan untuk mengarahkan senjata tersebut kepada objek lain. Maka Aswatama memilih agar senjata tersebut diarahkan ke kandungan Utara. Senjata tersebut pun membunuh Parikesit yang maish berada dalam kandungan. Atas pertolongan dari Kresna, Parikesit dihidupkan kembali. Aswatama kemudian dikutuk agar mengembara di dunia selamanya.


Ramalan kehidupan

Raja parikesit mengalungkan bangkai ular di leher Bagawan Samit

Resi Dhomya memprediksikan kepada Yudistira setelah Parikesit lahir bahwa ia akan menjadi pemuja setia Dewa Wisnu, dan semenjak ia diselamatkan oleh Bhatara Kresna, ia akan dikenal sebagai Vishnurata (Orang yang selalu dilindungi oleh Sang Dewa).

Resi Dhomya memprediksikan bahwa Parikesit akan selamanya mencurahkan kebajikan, ajaran agama dan kebenaran, dan akan menjadi pemimpin yang bijaksana, tepatnya seperti Ikswaku dan Rama dari Ayodhya. Ia akan menjadi ksatria panutan seperti Arjuna, yaitu kakeknya sendiri, dan akan membawa kemahsyuran bagi keluarganya.

Raja Hastinapura

Saat dimulainya zaman Kali Yuga, yaitu zaman kegelapan, dan mangkatnya Kresna Awatara dari dunia fana, lima Pandawa bersaudara pensiun dari pemerintahan. Parikesit sudah layak diangkat menjadi raja, dengan Krepa sebagai penasihatnya. Ia menyelenggarakan Aswameddha Yajña tiga kali di bawah bimibingan Krepa.

Kutukan Sang Srenggi

Pada suatu hari, Raja Parikesit pergi berburu ke tengah hutan. Ia kepayahan menangkap seekor buruan, lalu berhenti untuk beristirahat. Akhirnya ia sampai di sebuah tempat pertapaan. Di pertapaan tersebut, tinggalah Bagawan Samiti. Ia sedang duduk bertapa dan membisu. Ketika Sang Raja bertanya kemana buruannya pergi, Bagawan Samiti hanya diam membisu karena pantang berkata-kata saat sedang bertapa. Karena pertanyaannya tidak dijawab, Raja Parikesit marah dan mengambil bangkai ular dengan anak panahnya, lalu mengalungkannya ke leher Bagawan Samiti. Kemudian Sang Kresa menceritakan kejadian tersebut kepada putera Bagawan Samiti yang bernama Sang Srenggi yang bersifat mudah marah.

Saat Sang Srenggi pulang, ia melihat bangkai ular melilit leher ayahnya. Kemudian Sang Srenggi mengucapkan kutukan bahwa Raja Parikesit akan mati digigit ular setelah tujuh hari sejak kutukan tersebut diucapkan. Bagawan Samiti kecewa terhadap perbuatan puteranya tersebut, yang mengutuk raja yang telah memberikan mereka tempat berlindung. Akhirnya Bagawan Samiti berjanji akan mengakhiri kutukan tersebut. ia mengutus muridnya untuk memberitahu Sang Raja, namun Sang Raja merasa malu untuk mengakhiri kutukan tersebut dan memilih untuk berlindung.

Kemudian Naga Taksaka pergi ke Hastinapura untuk melaksanakan perintah Sang Srenggi untuk menggigit Sang Raja. Penjagaan di Hastinapura sangat ketat. Sang Raja berada dalam menara tinggi dan dikelilingi oleh prajurit, brahmana, dan ahli bisa. Untuk dapat membunuh Sang Raja, Naga Taksaka menyamar menjadi ulat dalam buah jambu. Kemudian jambu tersebut diduguhkan kepada Sang Raja. Kutukan tersebut menjadi kenyataan. Raja Parikesit wafat setelah digigit Naga Taksaka yang menyamar menjadi ulat dalam buah jambu.

Keturunan Raja Parikesit

Parikesit menikahi Madrawati, dan memiliki seorang putera bernama Janamejaya. Janamejaya diangkat menjadi raja pada usia yang masih muda. Janamejaya menikahi Wapushtama, dan memiliki dua putera bernama Satanika dan Sankukarna. Satanika diangkat sebagai raja menggantikan ayahnya dan menikahi puteri dari Kerajaan Wideha, kemudian memiliki seorang putra bernama Aswamedhadatta.

Para keturunan Raja Parikesit tersebut merupakan raja legendaris yang memimpin Kerajaan Kuru, namun riwayatnya tidak muncul dalam Mahabharata.

Parikesit dalam pewayangan Jawa

Parikesit adalah putera Abimanyu alias Angkawijaya, kesatria Plangkawati dengan permaisuri Dewi Utari, puteri Prabu Matsyapati dengan Dewi Ni Yustinawati dari Kerajaan Wirata. Ia seorang anak yatim, karena ketika ayahnya gugur di medan perang Bharatayuddha, ia masih dalam kandungan ibunya. Parikesit lahir di istana Hastinapura setelah keluarga Pandawa boyong dari Amarta ke Hastinapura.

Parikesit naik tahta negara Hastinapura menggantikan kakeknya Prabu Karimataya, nama gelar Prabu Yudistira setelah menjadi raja negara Hastinapura. Ia berwatak bijaksana, jujur dan adil.

Prabu Parikesit mempunyai 5 (lima) orang permasuri dan 8 (delapan) orang putera, yaitu:

1. Dewi Puyangan, berputera Ramayana dan Pramasata
2. Dewi Gentang, berputera Dewi Tamioyi
3. Dewi Satapi alias Dewi Tapen, berputera Yudayana dan Dewi Pramasti
4. Dewi Impun, berputera Dewi Niyedi
5. Dewi Dangan, berputera Ramaprawa dan Basanta.
Share:

WISANGGENI DAN ANTASENA





Mungkin untuk saat ini, banyak orang pasti akan tertawa terutama para kawula muda sekarang, ketika ada temannya yang berusia sebaya berbicara masalah wayang. Bahkan mereka akan mengatakan kuno bagi para kawula muda penyuka wayang. Nggak gaul gitu lhoooh...hari gini masih suka wayang....capcay..dech.. Pasti ungkapan tersebut akan tercetus begitu saja tanpa tedeng aling-aling. Atas nama ke(modern)an, dan sebagai anak gaul para kawula muda telah banyak yang enggan menampilkan kebudayaan sendiri. Sehingga tidak mengherankan jika kemudian banyak terjadi pengklaiman oleh negara lain terhadap kebudayaan negeri ini.

Wayang adalah peninggalan para leluhur bangsa ini, yang saat ini mungkin dianggap oleh sebagian masyarakat khususnya para kawula muda sudah tidak modern lagi, meskipun begitu wayang tetap merupakan salah satu dari ribuan kebudayaan yang dimiliki oleh bangsa ini yang memuat nilai-nilai luhur. Dari segi alur cerita pewayangan sarat dengan tuntunan falsafah-falsafah kehidupan. Bahasa yang dipergunakan dalam pewayangan adalah bahasa yang sangat indah dan halus tata bahasanya. Kalau diurutkan dari urutan terendah maka bahasa pewayangan yang dipakai adalah bahasa yang tertinggi tingkatannya baik dari segi tata bahasanya ataupun dari segi keindahannya, yaitu bahasa kraton. Bahasa kraton adalah bahasa yang dipergunakan didalam lingkungan kraton.

Dalam tata bahasa Jawa ada tingkatan-tingkatan bahasa yaitu bahasa Ngoko, Ngoko Alus, Krama Madya, Krama Inggil dan yang terakhir adalah bahasa kraton. Untuk memahami akan falsafah-falsafah kehidupan yang terdapat dalam cerita pewayangan minimal bisa memahami akan bahasa yang dipakai dalam pewayangan. Pemahaman disini adalah pemahaman dalam suatu kesatuan kalimat, bukan per kata. karena kalau per kata memang sangat susah sekali, kalaupun bisa kadang bisa berbeda artinya ataupun maknanya. Supaya bisa memahami bahasa yang dipergunakan dalam pewayangan maka harus mempunyai perasaan senang terlebih dahulu terhadap cerita wayang. Orang Jawa sendiri belum tentu juga bisa memahami akan cerita yang dimaksud. Namun demikian, hal tersebut jangan kemudian menjadi penghalang untuk bisa memahami akan wayang. Yang penting adalah tumbuhkan dulu akan rasa senang akan wayang. Mungkin diawali dari mendengarkan goro-goro. Goro-goro yaitu suatu adegan dimana para punakawan di tampilkan. Dan biasanya pada saat goro-goro ini bahasa yang dipakai adalah bahasa jawa yang mudah dipahami dan penuh dengan kelucuan.

Kemudian selain petuah-petuah yang bisa diambil dari segi alur cerita juga petuah-petuah tersebut bisa diambil dari bentuk fisik wayang. Dalam bentuk fisik wayang tersebut ternyata juga mempunyai makna yang sangat dalam. Misalnya, tokoh wayang yang bernama Gareng. Wujud Gareng dalam pewayangan diwujudkan dengan kondisi fisik yang tidak sempurna. Gareng diwujudkan dalam kondisi tangan yang thekle, kakinya juga dalam kondisi semper. Ternyata didalam kondisi fisik yang demikian mempunyai arti bahwa sesosok Gareng dengan tangan thekle digambarkan sebagai manusia yang tidak suka colong jupuk atau mencuri, serta kondisi kaki yang semper dimaksudkan bahwa Gareng tidak suka berjalan menuju tempat maksiat. Dalam mendalang, kadang-kadang sang dalang biasanya mengungkapkan juga mengenai asal mula kenapa bentuk wayang seperti itu, dan dijadikan perumpamaan akan falsafah tentang hidup.

Dalam pewayangan ada beberapa tokoh yang kontroversial. Pengertian kontroversial disini tidak diartikan dengan konotasi yang negatif, melainkan karena ada beberapa wayang dalam bertutur kata kepada siapapun tidak bisa bertutur kata menggunakan bahasa yang halus atau dalam istilah jawanya tidak bisa berbicara dengan bahasa krama inggil. Tokoh tersebut adalah Werkudara, Antasena, dan Wisanggeni. Ketiga tokoh tersebut senantiasa berbicara ngoko atau berbicara dalam bahasa keseharian. Berkaitan dengan tokoh-tokoh kontroversial tersebut, dalam tulisan ini akan mencoba mengangkat sedikit tentang profil Antasena dan Wisanggeni. Kalau Werkudara sudah banyak yang tahu apa dan siapa Werkudara itu, sedangkan Antasena dan Wisanggeni mungkin belum banyak yang tahu, khususnya kawula muda sekarang.


Antasena adalah putra dari Werkudara dengan istri Dewi Urang Ayu. Cucu dari Batara Mintuna Antasena, kalau dalam militer sekarang adalah sebagai angkatan lautnya pandawa, sedangkan angkatan darat dikuasa Antareja, untuk angkatan udara dikuasai oleh Gatotkaca. Ontorejo merupakan hasil dari perkawinan antara Werkudara dengan Dewi Nagagini, sedangkan Gatotkaca juga putra Werkudara dari istri Dewi Arimbi. Antasena merupakan tokoh yang tidak pernah bertutur kata dengan bahasa halus, baik kepada orangtuanya, paman-pamannya bahkan kepada Batara Guru, ataupun Dewa-dewa yang lain, walaupun tidak pernah bertutur kata dengan bahasa yang halus namun Antasena senantiasa memegang teguh yang namanya kejujuran dan tetap hormat kepada yang lebih tua. Dalam cerita pewayangan Antasena digambarkan sebagai tokoh yang ceplas ceplos, apapun yang menjadi ganjalan didalam hatinya langsung dia ungkapkan tanpa rasa sungkan, selain itu apabila ada yang salah ataupun berbuat sewenang-wenang maka Antasena tanpa mengenal rasa takut akan memerangi siapapun yang berbuat salah dan semena-mena, walaupun yang melakukan itu adalah seorang Batara Guru. Antasena dikaruniai kesaktian yang tinggi, bahkan sekelas dewapun tidak ada yang mampu mengalahkan kesaktian Antasena.

Wisanggeni sifat dan perilakunya sama juga dengan Antasena. Senantiasa memegang teguh akan sebuah kejujuran. Sakti Mandraguna, dalam berbicara juga tidak bisa menggunakan bahasa yang halus. Wisanggeni juga ceplas ceplos tanpa tedheng aling-aling dalam berbicara. Dalam pewayangan kesaktian Wisanggeni juga tidak ada yang bisa mengalahkan. Dalam sebuah lakon pewayangan yang mengangkat tema Wisanggeni Gugat digambarkan bagaimana kesaktian Wisanggeni yang dipergunakan untuk mengobrak-abrik kahyangan dikarenakan para Dewa khususnya Batara Guru telah berlaku semena-mena terhadap kakeknya, yaitu Batara Brama. Wisanggeni adalah cucu dari Batara Brama hasil perkawinan anak Batara Brama yang bernama Dewi Dersanala dengan Arjuna.
Antasena dan Wisanggeni adalah sosok yang tidak ada bisa mengalahkan baik oleh para dewa maupun manusia biasa bahkan hawa nafsupun tidak bisa mengalahkannya. Dengan kesaktian yang sempurna Antasena dan Wisanggeni tidak diperbolehkan ikut dalam perang Baratayuda. Hal ini dikarenakan tidak ada yang akan mampu menandingi kesaktian mereka berdua dalam perang tersebut. Selain itu juga musuh-musuh para pandawa juga telah ditetapkan oleh para Dewa. Misalnya Arjuna, ketika perang Baratayuda musuhnya adalah Karna, kemudian Werkudara musuhnya juga telah ditetapkan yaitu Dursasana, untuk memenuhi sumpah Werkudara/Dewi Drupadi terhadap Dursasana yang telah mengganggu Dewi Drupadi dalam perang Dadu.

Dari sedikit profil tentang Antasena dan Wisanggeni ada pelajaran yang bisa diambil yaitu tentang kejujuran, dimana untuk era modern ini ternyata kejujuran itu sangat mahal harganya. Selain itu juga meskipun kesaktiannya sangat tinggi, Antasena dan Wisanggeni tidak semena-mena kepada setiap orang, dan dengan kesaktiannya pula Antasena dan Wisanggeni senantiasa membela apa yang seharusnya itu benar. Berbeda halnya dengan sekarang ini yang mempergunakan aji mumpung. Mumpung mempunyai kekuasaan bisa nilep duit rakyat, mumpung mempunyai duit banyak bisa semena-mena terhadap orang lain. Bahkan dengan kekuasaan dan kesaktiannya menjadi yang benar menjadi salah dan salah menjadi benar.

Wayang adalah peninggalan para leluhur bangsa ini, yang saat ini mungkin dianggap oleh sebagian masyarakat khususnya para kawula muda sudah tidak modern lagi, meskipun begitu wayang tetap merupakan salah satu dari ribuan kebudayaan yang dimiliki oleh bangsa ini yang memuat nilai-nilai luhur. Dari segi alur cerita pewayangan sarat dengan tuntunan falsafah-falsafah kehidupan. Bahasa yang dipergunakan dalam pewayangan adalah bahasa yang sangat indah dan halus tata bahasanya. Kalau diurutkan dari urutan terendah maka bahasa pewayangan yang dipakai adalah bahasa yang tertinggi tingkatannya baik dari segi tata bahasanya ataupun dari segi keindahannya, yaitu bahasa kraton. Bahasa kraton adalah bahasa yang dipergunakan didalam lingkungan kraton.
Dalam tata bahasa Jawa ada tingkatan-tingkatan bahasa yaitu bahasa Ngoko, Ngoko Alus, Krama Madya, Krama Inggil dan yang terakhir adalah bahasa kraton. Untuk memahami akan falsafah-falsafah kehidupan yang terdapat dalam cerita pewayangan minimal bisa memahami akan bahasa yang dipakai dalam pewayangan. Pemahaman disini adalah pemahaman dalam suatu kesatuan kalimat, bukan per kata. karena kalau per kata memang sangat susah sekali, kalaupun bisa kadang bisa berbeda artinya ataupun maknanya. Supaya bisa memahami bahasa yang dipergunakan dalam pewayangan maka harus mempunyai perasaan senang terlebih dahulu terhadap cerita wayang. Orang Jawa sendiri belum tentu juga bisa memahami akan cerita yang dimaksud. Namun demikian, hal tersebut jangan kemudian menjadi penghalang untuk bisa memahami akan wayang. Yang penting adalah tumbuhkan dulu akan rasa senang akan wayang. Mungkin diawali dari mendengarkan goro-goro. Goro-goro yaitu suatu adegan dimana para punakawan di tampilkan. Dan biasanya pada saat goro-goro ini bahasa yang dipakai adalah bahasa jawa yang mudah dipahami dan penuh dengan kelucuan.
Kemudian selain petuah-petuah yang bisa diambil dari segi alur cerita juga petuah-petuah tersebut bisa diambil dari bentuk fisik wayang. Dalam bentuk fisik wayang tersebut ternyata juga mempunyai makna yang sangat dalam. Misalnya, tokoh wayang yang bernama Gareng. Wujud Gareng dalam pewayangan diwujudkan dengan kondisi fisik yang tidak sempurna. Gareng diwujudkan dalam kondisi tangan yang thekle, kakinya juga dalam kondisi semper. Ternyata didalam kondisi fisik yang demikian mempunyai arti bahwa sesosok Gareng dengan tangan thekle digambarkan sebagai manusia yang tidak suka colong jupuk atau mencuri, serta kondisi kaki yang semper dimaksudkan bahwa Gareng tidak suka berjalan menuju tempat maksiat. Dalam mendalang, kadang-kadang sang dalang biasanya mengungkapkan juga mengenai asal mula kenapa bentuk wayang seperti itu, dan dijadikan perumpamaan akan falsafah tentang hidup.
Dalam pewayangan ada beberapa tokoh yang kontroversial. Pengertian kontroversial disini tidak diartikan dengan konotasi yang negatif, melainkan karena ada beberapa wayang dalam bertutur kata kepada siapapun tidak bisa bertutur kata menggunakan bahasa yang halus atau dalam istilah jawanya tidak bisa berbicara dengan bahasa krama inggil. Tokoh tersebut adalah Werkudara, Antasena, dan Wisanggeni. Ketiga tokoh tersebut senantiasa berbicara ngoko atau berbicara dalam bahasa keseharian. Berkaitan dengan tokoh-tokoh kontroversial tersebut, dalam tulisan ini akan mencoba mengangkat sedikit tentang profil Antasena dan Wisanggeni. Kalau Werkudara sudah banyak yang tahu apa dan siapa Werkudara itu, sedangkan Antasena dan Wisanggeni mungkin belum banyak yang tahu, khususnya kawula muda sekarang.

Antasena adalah putra dari Werkudara dengan istri Dewi Urang Ayu. Cucu dari Batara Mintuna Antasena, kalau dalam militer sekarang adalah sebagai angkatan lautnya pandawa, sedangkan angkatan darat dikuasa Antareja, untuk angkatan udara dikuasai oleh Gatotkaca. Ontorejo merupakan hasil dari perkawinan antara Werkudara dengan Dewi Nagagini, sedangkan Gatotkaca juga putra Werkudara dari istri Dewi Arimbi. Antasena merupakan tokoh yang tidak pernah bertutur kata dengan bahasa halus, baik kepada orangtuanya, paman-pamannya bahkan kepada Batara Guru, ataupun Dewa-dewa yang lain, walaupun tidak pernah bertutur kata dengan bahasa yang halus namun Antasena senantiasa memegang teguh yang namanya kejujuran dan tetap hormat kepada yang lebih tua. Dalam cerita pewayangan Antasena digambarkan sebagai tokoh yang ceplas ceplos, apapun yang menjadi ganjalan didalam hatinya langsung dia ungkapkan tanpa rasa sungkan, selain itu apabila ada yang salah ataupun berbuat sewenang-wenang maka Antasena tanpa mengenal rasa takut akan memerangi siapapun yang berbuat salah dan semena-mena, walaupun yang melakukan itu adalah seorang Batara Guru. Antasena dikaruniai kesaktian yang tinggi, bahkan sekelas dewapun tidak ada yang mampu mengalahkan kesaktian Antasena.
Wisanggeni sifat dan perilakunya sama juga dengan Antasena. Senantiasa memegang teguh akan sebuah kejujuran. Sakti Mandraguna, dalam berbicara juga tidak bisa menggunakan bahasa yang halus. Wisanggeni juga ceplas ceplos tanpa tedheng aling-aling dalam berbicara. Dalam pewayangan kesaktian Wisanggeni juga tidak ada yang bisa mengalahkan. Dalam sebuah lakon pewayangan yang mengangkat tema Wisanggeni Gugat digambarkan bagaimana kesaktian Wisanggeni yang dipergunakan untuk mengobrak-abrik kahyangan dikarenakan para Dewa khususnya Batara Guru telah berlaku semena-mena terhadap kakeknya, yaitu Batara Brama. Wisanggeni adalah cucu dari Batara Brama hasil perkawinan anak Batara Brama yang bernama Dewi Dersanala dengan Arjuna.Antasena dan Wisanggeni adalah sosok yang tidak ada bisa mengalahkan baik oleh para dewa maupun manusia biasa bahkan hawa nafsupun tidak bisa mengalahkannya. Dengan kesaktian yang sempurna Antasena dan Wisanggeni tidak diperbolehkan ikut dalam perang Baratayuda. Hal ini dikarenakan tidak ada yang akan mampu menandingi kesaktian mereka berdua dalam perang tersebut. Selain itu juga musuh-musuh para pandawa juga telah ditetapkan oleh para Dewa. Misalnya Arjuna, ketika perang Baratayuda musuhnya adalah Karna, kemudian Werkudara musuhnya juga telah ditetapkan yaitu Dursasana, untuk memenuhi sumpah Werkudara/Dewi Drupadi terhadap Dursasana yang telah mengganggu Dewi Drupadi dalam perang Dadu.
Dari sedikit profil tentang Antasena dan Wisanggeni ada pelajaran yang bisa diambil yaitu tentang kejujuran, dimana untuk era modern ini ternyata kejujuran itu sangat mahal harganya. Selain itu juga meskipun kesaktiannya sangat tinggi, Antasena dan Wisanggeni tidak semena-mena kepada setiap orang, dan dengan kesaktiannya pula Antasena dan Wisanggeni senantiasa membela apa yang seharusnya itu benar. Berbeda halnya dengan sekarang ini yang mempergunakan aji mumpung. Mumpung mempunyai kekuasaan bisa nilep duit rakyat, mumpung mempunyai duit banyak bisa semena-mena terhadap orang lain. Bahkan dengan kekuasaan dan kesaktiannya menjadi yang benar menjadi salah dan salah menjadi benar.

Wayang adalah peninggalan para leluhur bangsa ini, yang saat ini mungkin dianggap oleh sebagian masyarakat khususnya para kawula muda sudah tidak modern lagi, meskipun begitu wayang tetap merupakan salah satu dari ribuan kebudayaan yang dimiliki oleh bangsa ini yang memuat nilai-nilai luhur. Dari segi alur cerita pewayangan sarat dengan tuntunan falsafah-falsafah kehidupan. Bahasa yang dipergunakan dalam pewayangan adalah bahasa yang sangat indah dan halus tata bahasanya. Kalau diurutkan dari urutan terendah maka bahasa pewayangan yang dipakai adalah bahasa yang tertinggi tingkatannya baik dari segi tata bahasanya ataupun dari segi keindahannya, yaitu bahasa kraton. Bahasa kraton adalah bahasa yang dipergunakan didalam lingkungan kraton.
Dalam tata bahasa Jawa ada tingkatan-tingkatan bahasa yaitu bahasa Ngoko, Ngoko Alus, Krama Madya, Krama Inggil dan yang terakhir adalah bahasa kraton. Untuk memahami akan falsafah-falsafah kehidupan yang terdapat dalam cerita pewayangan minimal bisa memahami akan bahasa yang dipakai dalam pewayangan. Pemahaman disini adalah pemahaman dalam suatu kesatuan kalimat, bukan per kata. karena kalau per kata memang sangat susah sekali, kalaupun bisa kadang bisa berbeda artinya ataupun maknanya. Supaya bisa memahami bahasa yang dipergunakan dalam pewayangan maka harus mempunyai perasaan senang terlebih dahulu terhadap cerita wayang. Orang Jawa sendiri belum tentu juga bisa memahami akan cerita yang dimaksud. Namun demikian, hal tersebut jangan kemudian menjadi penghalang untuk bisa memahami akan wayang. Yang penting adalah tumbuhkan dulu akan rasa senang akan wayang. Mungkin diawali dari mendengarkan goro-goro. Goro-goro yaitu suatu adegan dimana para punakawan di tampilkan. Dan biasanya pada saat goro-goro ini bahasa yang dipakai adalah bahasa jawa yang mudah dipahami dan penuh dengan kelucuan.
Kemudian selain petuah-petuah yang bisa diambil dari segi alur cerita juga petuah-petuah tersebut bisa diambil dari bentuk fisik wayang. Dalam bentuk fisik wayang tersebut ternyata juga mempunyai makna yang sangat dalam. Misalnya, tokoh wayang yang bernama Gareng. Wujud Gareng dalam pewayangan diwujudkan dengan kondisi fisik yang tidak sempurna. Gareng diwujudkan dalam kondisi tangan yang thekle, kakinya juga dalam kondisi semper. Ternyata didalam kondisi fisik yang demikian mempunyai arti bahwa sesosok Gareng dengan tangan thekle digambarkan sebagai manusia yang tidak suka colong jupuk atau mencuri, serta kondisi kaki yang semper dimaksudkan bahwa Gareng tidak suka berjalan menuju tempat maksiat. Dalam mendalang, kadang-kadang sang dalang biasanya mengungkapkan juga mengenai asal mula kenapa bentuk wayang seperti itu, dan dijadikan perumpamaan akan falsafah tentang hidup.
Dalam pewayangan ada beberapa tokoh yang kontroversial. Pengertian kontroversial disini tidak diartikan dengan konotasi yang negatif, melainkan karena ada beberapa wayang dalam bertutur kata kepada siapapun tidak bisa bertutur kata menggunakan bahasa yang halus atau dalam istilah jawanya tidak bisa berbicara dengan bahasa krama inggil. Tokoh tersebut adalah Werkudara, Antasena, dan Wisanggeni. Ketiga tokoh tersebut senantiasa berbicara ngoko atau berbicara dalam bahasa keseharian. Berkaitan dengan tokoh-tokoh kontroversial tersebut, dalam tulisan ini akan mencoba mengangkat sedikit tentang profil Antasena dan Wisanggeni. Kalau Werkudara sudah banyak yang tahu apa dan siapa Werkudara itu, sedangkan Antasena dan Wisanggeni mungkin belum banyak yang tahu, khususnya kawula muda sekarang.

Antasena adalah putra dari Werkudara dengan istri Dewi Urang Ayu. Cucu dari Batara Mintuna Antasena, kalau dalam militer sekarang adalah sebagai angkatan lautnya pandawa, sedangkan angkatan darat dikuasa Antareja, untuk angkatan udara dikuasai oleh Gatotkaca. Ontorejo merupakan hasil dari perkawinan antara Werkudara dengan Dewi Nagagini, sedangkan Gatotkaca juga putra Werkudara dari istri Dewi Arimbi. Antasena merupakan tokoh yang tidak pernah bertutur kata dengan bahasa halus, baik kepada orangtuanya, paman-pamannya bahkan kepada Batara Guru, ataupun Dewa-dewa yang lain, walaupun tidak pernah bertutur kata dengan bahasa yang halus namun Antasena senantiasa memegang teguh yang namanya kejujuran dan tetap hormat kepada yang lebih tua. Dalam cerita pewayangan Antasena digambarkan sebagai tokoh yang ceplas ceplos, apapun yang menjadi ganjalan didalam hatinya langsung dia ungkapkan tanpa rasa sungkan, selain itu apabila ada yang salah ataupun berbuat sewenang-wenang maka Antasena tanpa mengenal rasa takut akan memerangi siapapun yang berbuat salah dan semena-mena, walaupun yang melakukan itu adalah seorang Batara Guru. Antasena dikaruniai kesaktian yang tinggi, bahkan sekelas dewapun tidak ada yang mampu mengalahkan kesaktian Antasena.
Wisanggeni sifat dan perilakunya sama juga dengan Antasena. Senantiasa memegang teguh akan sebuah kejujuran. Sakti Mandraguna, dalam berbicara juga tidak bisa menggunakan bahasa yang halus. Wisanggeni juga ceplas ceplos tanpa tedheng aling-aling dalam berbicara. Dalam pewayangan kesaktian Wisanggeni juga tidak ada yang bisa mengalahkan. Dalam sebuah lakon pewayangan yang mengangkat tema Wisanggeni Gugat digambarkan bagaimana kesaktian Wisanggeni yang dipergunakan untuk mengobrak-abrik kahyangan dikarenakan para Dewa khususnya Batara Guru telah berlaku semena-mena terhadap kakeknya, yaitu Batara Brama. Wisanggeni adalah cucu dari Batara Brama hasil perkawinan anak Batara Brama yang bernama Dewi Dersanala dengan Arjuna.Antasena dan Wisanggeni adalah sosok yang tidak ada bisa mengalahkan baik oleh para dewa maupun manusia biasa bahkan hawa nafsupun tidak bisa mengalahkannya. Dengan kesaktian yang sempurna Antasena dan Wisanggeni tidak diperbolehkan ikut dalam perang Baratayuda. Hal ini dikarenakan tidak ada yang akan mampu menandingi kesaktian mereka berdua dalam perang tersebut. Selain itu juga musuh-musuh para pandawa juga telah ditetapkan oleh para Dewa. Misalnya Arjuna, ketika perang Baratayuda musuhnya adalah Karna, kemudian Werkudara musuhnya juga telah ditetapkan yaitu Dursasana, untuk memenuhi sumpah Werkudara/Dewi Drupadi terhadap Dursasana yang telah mengganggu Dewi Drupadi dalam perang Dadu.
Dari sedikit profil tentang Antasena dan Wisanggeni ada pelajaran yang bisa diambil yaitu tentang kejujuran, dimana untuk era modern ini ternyata kejujuran itu sangat mahal harganya. Selain itu juga meskipun kesaktiannya sangat tinggi, Antasena dan Wisanggeni tidak semena-mena kepada setiap orang, dan dengan kesaktiannya pula Antasena dan Wisanggeni senantiasa membela apa yang seharusnya itu benar. Berbeda halnya dengan sekarang ini yang mempergunakan aji mumpung. Mumpung mempunyai kekuasaan bisa nilep duit rakyat, mumpung mempunyai duit banyak bisa semena-mena terhadap orang lain. Bahkan dengan kekuasaan dan kesaktiannya menjadi yang benar menjadi salah dan salah menjadi benar.

Wayang adalah peninggalan para leluhur bangsa ini, yang saat ini mungkin dianggap oleh sebagian masyarakat khususnya para kawula muda sudah tidak modern lagi, meskipun begitu wayang tetap merupakan salah satu dari ribuan kebudayaan yang dimiliki oleh bangsa ini yang memuat nilai-nilai luhur. Dari segi alur cerita pewayangan sarat dengan tuntunan falsafah-falsafah kehidupan. Bahasa yang dipergunakan dalam pewayangan adalah bahasa yang sangat indah dan halus tata bahasanya. Kalau diurutkan dari urutan terendah maka bahasa pewayangan yang dipakai adalah bahasa yang tertinggi tingkatannya baik dari segi tata bahasanya ataupun dari segi keindahannya, yaitu bahasa kraton. Bahasa kraton adalah bahasa yang dipergunakan didalam lingkungan kraton.
Dalam tata bahasa Jawa ada tingkatan-tingkatan bahasa yaitu bahasa Ngoko, Ngoko Alus, Krama Madya, Krama Inggil dan yang terakhir adalah bahasa kraton. Untuk memahami akan falsafah-falsafah kehidupan yang terdapat dalam cerita pewayangan minimal bisa memahami akan bahasa yang dipakai dalam pewayangan. Pemahaman disini adalah pemahaman dalam suatu kesatuan kalimat, bukan per kata. karena kalau per kata memang sangat susah sekali, kalaupun bisa kadang bisa berbeda artinya ataupun maknanya. Supaya bisa memahami bahasa yang dipergunakan dalam pewayangan maka harus mempunyai perasaan senang terlebih dahulu terhadap cerita wayang. Orang Jawa sendiri belum tentu juga bisa memahami akan cerita yang dimaksud. Namun demikian, hal tersebut jangan kemudian menjadi penghalang untuk bisa memahami akan wayang. Yang penting adalah tumbuhkan dulu akan rasa senang akan wayang. Mungkin diawali dari mendengarkan goro-goro. Goro-goro yaitu suatu adegan dimana para punakawan di tampilkan. Dan biasanya pada saat goro-goro ini bahasa yang dipakai adalah bahasa jawa yang mudah dipahami dan penuh dengan kelucuan.
Kemudian selain petuah-petuah yang bisa diambil dari segi alur cerita juga petuah-petuah tersebut bisa diambil dari bentuk fisik wayang. Dalam bentuk fisik wayang tersebut ternyata juga mempunyai makna yang sangat dalam. Misalnya, tokoh wayang yang bernama Gareng. Wujud Gareng dalam pewayangan diwujudkan dengan kondisi fisik yang tidak sempurna. Gareng diwujudkan dalam kondisi tangan yang thekle, kakinya juga dalam kondisi semper. Ternyata didalam kondisi fisik yang demikian mempunyai arti bahwa sesosok Gareng dengan tangan thekle digambarkan sebagai manusia yang tidak suka colong jupuk atau mencuri, serta kondisi kaki yang semper dimaksudkan bahwa Gareng tidak suka berjalan menuju tempat maksiat. Dalam mendalang, kadang-kadang sang dalang biasanya mengungkapkan juga mengenai asal mula kenapa bentuk wayang seperti itu, dan dijadikan perumpamaan akan falsafah tentang hidup.
Dalam pewayangan ada beberapa tokoh yang kontroversial. Pengertian kontroversial disini tidak diartikan dengan konotasi yang negatif, melainkan karena ada beberapa wayang dalam bertutur kata kepada siapapun tidak bisa bertutur kata menggunakan bahasa yang halus atau dalam istilah jawanya tidak bisa berbicara dengan bahasa krama inggil. Tokoh tersebut adalah Werkudara, Antasena, dan Wisanggeni. Ketiga tokoh tersebut senantiasa berbicara ngoko atau berbicara dalam bahasa keseharian. Berkaitan dengan tokoh-tokoh kontroversial tersebut, dalam tulisan ini akan mencoba mengangkat sedikit tentang profil Antasena dan Wisanggeni. Kalau Werkudara sudah banyak yang tahu apa dan siapa Werkudara itu, sedangkan Antasena dan Wisanggeni mungkin belum banyak yang tahu, khususnya kawula muda sekarang.

Antasena adalah putra dari Werkudara dengan istri Dewi Urang Ayu. Cucu dari Batara Mintuna Antasena, kalau dalam militer sekarang adalah sebagai angkatan lautnya pandawa, sedangkan angkatan darat dikuasa Antareja, untuk angkatan udara dikuasai oleh Gatotkaca. Ontorejo merupakan hasil dari perkawinan antara Werkudara dengan Dewi Nagagini, sedangkan Gatotkaca juga putra Werkudara dari istri Dewi Arimbi. Antasena merupakan tokoh yang tidak pernah bertutur kata dengan bahasa halus, baik kepada orangtuanya, paman-pamannya bahkan kepada Batara Guru, ataupun Dewa-dewa yang lain, walaupun tidak pernah bertutur kata dengan bahasa yang halus namun Antasena senantiasa memegang teguh yang namanya kejujuran dan tetap hormat kepada yang lebih tua. Dalam cerita pewayangan Antasena digambarkan sebagai tokoh yang ceplas ceplos, apapun yang menjadi ganjalan didalam hatinya langsung dia ungkapkan tanpa rasa sungkan, selain itu apabila ada yang salah ataupun berbuat sewenang-wenang maka Antasena tanpa mengenal rasa takut akan memerangi siapapun yang berbuat salah dan semena-mena, walaupun yang melakukan itu adalah seorang Batara Guru. Antasena dikaruniai kesaktian yang tinggi, bahkan sekelas dewapun tidak ada yang mampu mengalahkan kesaktian Antasena.
Wisanggeni sifat dan perilakunya sama juga dengan Antasena. Senantiasa memegang teguh akan sebuah kejujuran. Sakti Mandraguna, dalam berbicara juga tidak bisa menggunakan bahasa yang halus. Wisanggeni juga ceplas ceplos tanpa tedheng aling-aling dalam berbicara. Dalam pewayangan kesaktian Wisanggeni juga tidak ada yang bisa mengalahkan. Dalam sebuah lakon pewayangan yang mengangkat tema Wisanggeni Gugat digambarkan bagaimana kesaktian Wisanggeni yang dipergunakan untuk mengobrak-abrik kahyangan dikarenakan para Dewa khususnya Batara Guru telah berlaku semena-mena terhadap kakeknya, yaitu Batara Brama. Wisanggeni adalah cucu dari Batara Brama hasil perkawinan anak Batara Brama yang bernama Dewi Dersanala dengan Arjuna.Antasena dan Wisanggeni adalah sosok yang tidak ada bisa mengalahkan baik oleh para dewa maupun manusia biasa bahkan hawa nafsupun tidak bisa mengalahkannya. Dengan kesaktian yang sempurna Antasena dan Wisanggeni tidak diperbolehkan ikut dalam perang Baratayuda. Hal ini dikarenakan tidak ada yang akan mampu menandingi kesaktian mereka berdua dalam perang tersebut. Selain itu juga musuh-musuh para pandawa juga telah ditetapkan oleh para Dewa. Misalnya Arjuna, ketika perang Baratayuda musuhnya adalah Karna, kemudian Werkudara musuhnya juga telah ditetapkan yaitu Dursasana, untuk memenuhi sumpah Werkudara/Dewi Drupadi terhadap Dursasana yang telah mengganggu Dewi Drupadi dalam perang Dadu.
Dari sedikit profil tentang Antasena dan Wisanggeni ada pelajaran yang bisa diambil yaitu tentang kejujuran, dimana untuk era modern ini ternyata kejujuran itu sangat mahal harganya. Selain itu juga meskipun kesaktiannya sangat tinggi, Antasena dan Wisanggeni tidak semena-mena kepada setiap orang, dan dengan kesaktiannya pula Antasena dan Wisanggeni senantiasa membela apa yang seharusnya itu benar. Berbeda halnya dengan sekarang ini yang mempergunakan aji mumpung. Mumpung mempunyai kekuasaan bisa nilep duit rakyat, mumpung mempunyai duit banyak bisa semena-mena terhadap orang lain. Bahkan dengan kekuasaan dan kesaktiannya menjadi yang benar menjadi salah dan salah menjadi benar.

Share:

Togog









Togog adalah wayang yang digunakan di dalam lakon apapun juga di pihak raksasa. Ia menjadi penunjuk jalan pada waktu raksasa yang diikutinya bertugas di luar negara.

Pengetahuan Togog akan jalan didapatnya karena sebagai hamba ia pernah mengikuti majikannya, ketika pergi ke negara-negara lain. Togog tidak mempunyai kesetiaan dan selalu berpindah dari majikan yang satu ke majikan yang lainnya.

Maka itu sesecrang yang tak setia pada pekerjaannya dan selalu berganti majikan, sering juga disebut seorang Togog.

Suara Togog besar. Cara membawakan suara demikian ialah dengan bersuara besar di leher.
Ia bersahabat dengan Semar yang terhitung lebih muda daripada Togog. Maka Semar pun menyapa Togog dengan kakang atau dengan kependekannya kang dengan menyebut namanya, jadi: Kang Togog.

Di mana Togog menghamba, ia disayang dan dipercaya oleh majikannya, sampai-sampai ia dipercaya untuk memberangkatkan tentara yang bertugas ke luar negara. Waktu Togog mendapat perintah untuk memberangkatkan tentara, dalang pun menyampaikan ucapan berikut:

Tersebutlah lurah Wijayamantri (Togog) telah tiba di tempat para raksasa berkumpul dan ia pun memerintahkan kepada Klek-engklek Balung atandak, supaya bersiap-siap berjalan ke negara Anu, tetapi perintahnya tak kedengaran dan naiklah ia ke panggung dan memukuli sesuatu barang untuk memberi tanda. Barang yang dipukuli untuk memberi tanda ialah: genta, keleleng, gubar, beri dan lonceng agung sebesar lumbung, setelah dipalu kedengaran hingga sejauh seperempat jam jalan. Raksasa-raksasa yang sedang bepergian dan mendengar tanda suara itu segera kembali dan bersiap siaga dengan senjata dan kendaraan. Yang menjadi kendaraan raksasa ialah senuk, memreng, blegdaba, bihal, badak dan singa yang kesemuanya itu membikin orang ketakutan. Ucap Engklek-engklek Balung tandak, “Ayo kawan, berdandanlah, kita pergi ke negara Anu.”

Kawan-kawan menyambut, “ Ikutlah, ikutlah. Jangan sampai ketinggalan prabot kita: tekor tempat darah dan pisau pemotong hati.” Riuhlah suara raksasa-raksasa bercampur suara binatang-binatang kendaraan seperti bunyi guruh di musim keempat.

Lurah Widyamantri turun dari panggung dan menghadap majikannya.

Bragalba bertanya, apakah Lurah Widyamantri sudah mengundangkan, supaya semua raksasa bersiap.

Jawab Widyamantni, “Sudah Kyai, setiap saat bisa berangkat.

Bragalba, “Marilah berangkat, selagi waktu masih pagi.”

Jawab: Mari, mari kita berangkat.
Bunyi gamelan mengiringi keberangkatan mereka.

Gamelan berhenti. Berkata Togog kepada Bilung, “Bilung, bagaimana ini. Katanya tadi diangkat sebagai pemimpin. Bagaimana aku bisa memimpin sampai ke negara yang dituju, kalau semua orang mau tinggal di belakang.”

Tetapi Togog dan Bilung menyusul jua.
Di tengah jalan mereka berjumpa dengan duta seorang raja. Dalam tanya-menanya mengenai tujuan mereka masing-masing, timbul pertengkaran dan terjadi perang, perang mana lazim disebut perang gagal, yakni perang berkesudahan tanpa jatuhnya korban-korban. Kedua pihak kemudian bersimpang jalan.

Togog bermata keran (juling), berhidung pesek (Jawa: pipih), bermulut mrongos (jongang), tak bergigi, berkepala botak, hanya berambut sedikit di tengkuk. Bergelang. Berkain slobog (nama batik). Berkeris dan berwedung.

===========

Togog kadang disebut Wijamantri , Catugora, Secawraga atau Secangragas, bahkan disebut nama lengkapnya Lurah Togog Wijamantri adalah tokoh wayang yang digunakan pada lakonapapun juga di pihak "kiri" atau raksasa.

Ia sebagai pelopor petunjuk jalan pada wakturaksasa yang diikutinya berjalan ke negeri lain.

PengetahuanTogog dalam hal ini, karena ia menjelajah banyak negeri dengan menghambakandirinya, dan sebentar kemudian pindah pada majikan yang lain hingga takmempunyai kesetiaan.

Karena itu kelakuan Togog sering diumpamakan padaseseorang yang tidak setia pada pekerjaannya dan sering berganti majikan.

Sebenarnya Togog dan Bilung dalam posisinya sebagai abdi, senantiasa berupayamemberikan pengarahan positif dengan menasihati tuannya agar tidak melaksanakanaksi yang bersifat jahat, namun sering kali nasihatnya tidak dilaksanakan.

Riwayat
Togog adalah putra dewa yang lahir sebelumSemar tapi karenatidak mampu mengayomi bumi maka Togog kembali keasal lagi alias tidak jadilahir dan waktu bersamaan lahirlah Semar.

Pada jaman kadewatandiceritakan Sanghyang Wenang mengadakan sayembara untukmemilih penguasa kahyangan dari ketiga cucunya yaitu Sanghyang Antaga (Togog), SanghyangIsmaya (Semar)dan Sanghyang Manikmaya (BataraGuru), untuk itu sayembara diadakan dengan cara : siapasaja dari ketiga cucunya tersebut yang dapat menelan dan memuntahkan kembaligunung Jamurdipa maka dialah yang akan terpilih menjadi penguasa kahyangan.

Giliran pertama Sanghyang Antaga mencoba untukmelakukannya, namun yang terjadi malah mulutnya robek dan jadi dowerseperti yang bisa kita lihat pada karakter Togog sekarang.

Giliran berikutnya adalah Sanghyang Ismaya yangmelakukannya, gunung jamurdipa dapat ditelan bulat-bulat tetapi tidak dapatdikeluarkan lagi, dan jadilah Semar berperut buncit karena ada gunung didalamnya sepertidapat kita lihat pada karakter Semar dalam wayangkulit. Karena sarana sayembara sudah musnah ditelan Semar maka yang berhakmemenangkan sayembara dan menjadi penguasa kadewatan adalah SanghyangManikmaya atau Batara Guru, cucu bungsu dari Sanghyang Wenang.
Adapun Togog danSemar akhirnya diutus turun ke marcapada (dunia manusia) untuk menjadipenasihat, dan pamong pembisik makna sejati kehidupan dan kebajikan padamanusia, yang pada akhirnya Semar dipilih sebagai pamong untuk para satriaberwatak baik.
Togog diutus sebagai pamong untuk para ksatria denganwatak buruk.


Riwayat lainnya

Syahdan, ketika dunia baru saja tercipta. Matahari, bulan dan bintangbertaburan di angkara. Samudra membentang luas. Alam sudah tercipta, tapi belumada manusia. Tersebutlah di alam dewata, Sanghyang Wenang, raja segala dewamemperanakkan seorang putra, Sanghyang Tunggal namanya. Di kerajaan jin, RajaBegawan Rekatatama mempunyai seorang putri cantik jelita, Dewa Rekatawati.

Setelah dewasa, Sanghyang Tunggal dan Dewi Rekatawatidinikahkan.

Tak lama kemudian Dewa Rekatawati mengandung. Di luarharapan, ia tidak melahirkan bayi, tapi sebutir telur. Dan begitu keluar darirahim, telur itu terbang, melesat ke angkasa, lalu jatuh di hadapan SanghyangWenang. Sanghyang Wenang yang sangat sakti, tahu, dari mana telur itu berasal,dan apa yang harus terjadi pada telur tersebut. Maka disabdanya telur itu, dantelur itu pun berubah menjadi mahluk.

Kulit telur menjadi bayilaki-laki, dinamai Sanghyang Antaga.

Putih telur juga menjadi seorang bayilelaki, dinamai Sanghyang Ismaya.

Kuning telurnya menjadi bayilaki-laki bernama Sanghyang Manikmaya.
Semulamereka rukun dan damai hidupnya.

Namun saat menginjak dewasa, Sanghyang Antagadan Sanghyang Ismaya bertengkar, memperebutkan tahta ayahnya, SanghyangTunggal.
Masing-masing mengklaim yang paling berhak menggantikan ayahnya, danmerasa paling sakti. Mereka bertengkar tiada habisnya.
SanghyangManikmaya lalu menengahi pertikaian kedua saudaranya. Tanpasepengetahuan ayahnya, ia mengusulkan kedua saudaranya ber lomba untukmenunjukkan kesaktian nya, siapa yang dapat menelan Gunung Garbawasa,dialah yang akan berkuasa. Di dalam gunung itu terkandung apa saja yang dibutuhkan untuk kehidupan manusia.

Setelahkeduanya setuju, maka pergilah mereka menuju Gunung Garbawasa.

PertamaSanghyang Antaga yang memulai sayembara. Ia mencoba nguntal gunung itu,tapi tak berhasil, meskipun sudah berulang kali mencoba, sampai mulutnya sobek.

Jadilah Sanghyang Antaga, dewa yang semula tampan wajahnya berubah menjadi jelek. Mulutnyalebar, karenasobek.
Saattiba giliran Sanghyang Ismaya, ia mengheningkan cipta. Dipandangnya GunungGarbawasa dalam-dalam. Ia membayangkan masuk kedalam rahim ibunya. Ia bertanya,bagaimana seorang mahluk sebesar dia pernah berada dalam rahim yang sekecilitu.
Itulah misteri jagad raya. Begitu ia sampai pada kesadaran ini, di-untal-nya Gunung Garbawasa yang ada dihadapannya.
Ia berhasil. celakanya, ia tak dapat mengeluarkankembali gunung itu. Ismaya sadar seharusnya tak boleh kebesaran jagat raya iniia taklukkan dengan nafsunya. Kini jagad raya inilah yang menghukumnya. Sejaksaat itu Sanghyang Ismaya menjadi buruk tampaknya.Perutnya besar dan bokongnya pun membesar pula ke belakang, tersodok puncakgunung yang ditelannya.

Marahlah Sanghyang Tunggal mengetahui kelakuan mereka, "Kalian dewa,tapi kelakuan kalian seperti manusia juga". Ungkapan Sanghyang Tunggalmengandung arti sesungguhnya telah direncana dalam rancangan jagad raya ini,bahwa manusia itu adalah mahluk yang pandai bertikai dan bertengkar di antarasesamanya.

Usai melampiaskan amarahnya, Sanghyang Tunggal mengusir kedua anaknya kedunia. Nama mereka pun diubah, Sanghyang Ismaya menjadi Semar, Sanghyang Antagamenjadi Togog. Semardititahkan untuk melindungi manusia yang baik yang dalam pewayangan diwakilikaum Pandawa. Sedangkan Togog diperintahkan menemani manusia jahat. Semarmemanggil Togog dengan sebutan “Kang Togog”.


Versi Cirebon , menyatakan Togog berasal Sanghyang Punggung, kakak Semar. Ibunya seorang wanita Selong (Ceylon,Srilanka), Semarmenyebutnya “Kakang Anom” karena lebih tua, namun mendapat wajah buruk lebihmuda dari Semar.


Sanghyang Punggung, juga berupaya menjadiRaja Kahyangan, namun gagal karena melorot dari Bale Mercupunda dan jatuh dihutan Kendalgrowong, yang kemudian digunakan untuk bertapa.

Di hutan iniia bertemu dengan Sanghyang Munged, yang berceritera kepada Sanghyang Punggung, bahwa iaingin mengubah dirinya berhubung ia termasuk daftar Pencarian Dewa, akibatmencuri ajimat Cupu Manik Astagina dan Cupu Ratna Tirta Kamandalu dariSuralaya.

CupuManik Astagina ini berisi minyak yang bisa membuat orang jadi kaya danCupu Ratna Kamandalu mengandung minyak untuk kekebalan.

Sanghyang Munget,menerapkan – memakai bungkus ajimat ke badannya, dan berubah menjadi Semar,kemudian diikuti Sanghyang Punggung, yang berubah menjadi Togog. Togog kemudianmenjadi panakawan Dasamuka.


Sebelumpemunculan Togog, dalang akan mengucapkan pustaka kramakawi :

Togog lurah Wijamantri,

Togog mungging (munggah ing ) bale,

Nabuh Bende siguntur

Atau:

Akuing Tejamantri,

Mungging bale

Mangutus gupuh nabuh tengara bala.


Di mana Togog menghamba tentu dipercaya oleh sang majikan untuk memerintahbala tentara yang akan berangkat ke negeri lain. Waktu ia mendapat perintahuntuk memberangkatkan bala tentara tersebut, dalang akan mengucapkan kata-katasebagai berikut:

”Tersebutlahlurah Wijamantri (Togog) telah tiba di tempat para raksasa berkumpul, memerintahkankepada “Klek-engklek Balung atandak”untuk bersiap akan berjalan ke negeri Anu, tetapi perintah itu tak didengar,maka naiklah ia ke panggung, memukul barang sebagai pertanda.

Adapun benda yang digunakan ialah genta, keleleng, gubar, beri dan loncengagung sebesar lumbung. Setelah dipalu dan para raksasa segera bersiap senjatadan kendaraan yang berbentuk senuk,memreng, blegdaba, bihal, badak dan singa yang mengaum dan meraungmendatangkan ketakutan pada banyak orang.”

“Ucapan Engklek-engklek Balung atandak: Marilah teman berdandanlah, akanpergi ke negeri Anu. Dan kemudian disahuti oleh temannya: Ikut-ikutlah, janganketinggalan perabot kita, tekor tempat darah, pisau pemotong hati.”

Sekalipun akan mengalahkan lawan atau musuhnya tetap harusberpegang pada etika seorang kesatria yang harus gentle, tidakpengecut, dan tidak memenangkan perkelahian dengan jalan yang licik.
Sekalipunmenang tidak boleh menghina dan mempermalukan lawannya. Itulah ajaran Ki LurahTogog yang sering kali diminta nasehatdan saran oleh para majikannya.

Namun toh akhirnya setiap nasehat, saran, masukan, aspirasiyang disampaikan Ki Lurah Togog tetapsaja tidak pernah digubris oleh majikannya, mereka tetap setia.

Ki Lurah Togogwalaupun menjabat posisi sentral sebagai penasehat, pengasuh dan pembim-bing, yang selalubermulut lantang menyuarakan pepeling, seolah peran mereka hanyasebagai obyek pelengkap penderita.
Walaupun Ki Lurah Togog selalugagal mengasuh majikannya para kesatria dur angkara, hingga sering berpindahmajikan untuk bersuara lantang mencegah kejahatan.

Bukan berarti mereka tidak setia. Sebaliknya dalam hal kesetiaan sebagaikelompok penegak kebenaran,Ki Lurah Togog patut menjadi teladan baik. Karena sekalipun sering dimaki,dibentak dan terkena amarah majikannya, Ki Lurah Togog tidak mau berkhianat.

Sekalipun selalu gagal memberi kritik dan saran kepada majikannya,mereka tetap teguh dalam perjuangan menegakkan keadilan, dan lagi-lagi, merekaselalu dimintai saran dan kritikan, namun serta-merta diingkari pula olehmajikan-majikan barunya. Itulah nasib Togog, yang mengisyaratkan nasib rakyatkecil yang selalu mengutarakan aspirasi dan amanat penderitaan rakyat namuntidak memiliki bargaining power.

Ibaratmenyirami gurun, seberapapun nasehat dan kritikan telah disiramkan di hati para“pemimpin” dur angkara, tak akan pernah membekas dalam watak paramajikannya.

Barangkali nasib kelompok punakawan Ki Lurah Togog mirip dengan apayang kini dialami oleh rakyat Indonesia. Suara hati nurani rakyat sulitmendapat tempat di hati para tokoh dan pejabat hing nusantaranagri.

Sekalipun sekian banyakpelajaran berharga di depan mata, namun manifestasi perbuatan dan kebijakanpolitiknya tetap saja kurang populer untuk memihak rakyat kecil “Togog dalamperenungannya merasakan keanehan dalam orde ini yang banyak orang beranggapanorde perubahan, tapi terasa perubahan yang membingungkan dari keseragaman

Anehnya, setiap pendapat walaupun mengandung kebenaran selalu disangsikan.”
Share:

Postingan Populer

Recent Posts

Unordered List

Pages

Theme Support

Need our help to upload or customize this blogger template? Contact me with details about the theme customization you need.